Tarekat Qodiriyah
March 5, 2009
Asas Tasawuf
March 5, 2009
Tarekat Qodiriyah
March 5, 2009
Asas Tasawuf
March 5, 2009

Tarekat Awam Dan Tarekat Khas

Dalam wancana Syadziliyah ada tahap dimana, para penempuh jalan Sufi melakukan melalui dua cara:

Cara pertama melalui cara yang ditempuh khalayak awam (umum) dan ada pula yang ditempuh oleh khalayak khusus (Khas). Pandangan awam mahupun Khas di sini, tidak bersifat sosiologi mahupun intelektual. Tetapi bersifat spiritual. Penentuan seseorang melalui sistem Awam atau pun Khas, hanyalah bentuk penempuhan itu sendiri. Sebagaimana dalam Al-Qur’an ada istilah al-Muhibbin dan Al-Mahbubin, ada ash-Shiddiqin dan ada pula ash-Shadiqin. Konteks lain dari istilah Sufi, ada proses yang bersifat Al-Murid ada juga dengan proses Al-Murad. Jadi kategori di atas hanyalah kategori proses penempuhannya. Kerana itu disarankan Mursyid Kamil Mukammil untuk membimbing, masing-masing terhadap kedua proses di atas.

Dalam Al-Mafakhir, dikutip ucapan asy-Syadzily tentang kategori penempuhan di atas, beliau mengatakan secara panjang lebar:

“Perlu diketahui bahawa pengetahuan yang menurut pemiliknya dianggap terpuji, hal itu dianggap gelap bagi ahli hakikat. Ahli hakikat ini adalah mereka yang yang menyelami Lautan Dzat dan kedalaman Sifat-sifat. Di sana, mereka tanpa memiliki hasrat. Dan mereka itulah kalangan elit atau Khas yang Luhur. Yaitu mereka yang menyertai martabat para Nabi dan Rasul, walaupun martabat para Nabi dan Rasul itu lebih mulia. Sebab mereka ini mempunyai bahagian dari martabat itu, kerana baik Nabi mahupun para Rasul dari ummat ini, pasti mempunyai pewaris, dan setiap pewaris mempunyai bahagian dari peninggalan warisannya. Nabi saw, bersabda, ” Para Ulama itu adalah pewaris para Nabi.” Dan tentunya para pewaris itu memiliki kedudukan yang diketahui dari yang mewariskannya, dari segi pewarisan ilmu pengetahuan dan hikmah. Namun bukan dari segi perwujudan martabat dan keadaan anugerah rohani (al-maqam wal-haal). Sebab maqam para Nabi itu terlalu luhur untuk diraih oleh selain para Nabi sendiri, sementara setiap pewaris mendapatkan sebahagian maqam itu menurut warisan yang diterimanya. Kerana Allah swt, sudah berfirman, “Niscaya benar-benar Kami utamakan sebahagian Nabi atas sebahagian yang lainnya”. Begitu juga Allah memberikan posisi keutamaan para wali satu sama lainnya berbeza.

Para Nabi sentiasa menyertai Pandangan Allah, dan setiap pandangan yang melimpah dari pandangan para Nabi akan tertuang menurut kadarnya.

Sementara setiap Wali memiliki muatan yang spesifik, sehingga dunia Wali terbahagi menjadi dua:

Satu bahagian disebut sebagai para Abdal (pengganti) bagi para Nabi Bahagian kedua, adalah pengganti para Rasul.

Abdal para Nabi disebut sebagai kalangan Shalihun, sedangkan Abdal para Rasul disebut ash-Shiddiqun. Antara Shalihun dengan Shiddiqun, posisi keutamaannya sama dengan antara para Nabi dan Rasul. Maka dari mereka, dan dari mereka pula. Hanya saja diantara mereka itu adala kelompok khusus yang mendapatkan substansi materi langsung dari Rasulullah saw, yang mereka saksikan dengan pandangan keyakinan.

Tetapi jumlah kelompok sedikit, namun dalam jumlah perwujudan hakikatnya cukup banyak. Setiap Nabi dan Wali selalu bermula dari substansi Rasulullah saw,. Karena diantara para Wali itu ada yang menyaksikan dengan pandangannya, dan sebahgian mereka yang ada yang tersembunyikan pandangan dan substansi materinya. Mereka malah fana’ dalam anugerah yang turun padanya dan tidak tersibukkan dengan mencari substansi materinya itu, bahkan , mereka itu tenggelam dalam anugerah rohani (hal) sampai tidak lagi melihat kecuali hanya pada “waktunya”.

Diantara mereka ada yang terlimpahi melalui Nur Ilahi, sehingga mereka dapat memandang melalui cahaya itu, dan mengenal urusannya secara hakikat. Dan yang demikian itu merupakan karomah bagi mereka, yang tidak boleh diingkari kecuali oleh mereka yang memang mengingkari karomah para Wali. Kita semua mohon perlindungan dari keingkaran terhadap sesuatu setelah kita mengenal sesuatu itu. Mereka itu menempuh Thariqat yang tidak ditempuh oleh yang lainnya.

Sebab jalan penempuhan (Thariqat) itu ada dua. Thariqat bagi kalangan Khas, dan Thariqat bagi kalangan publik (umum). Dimaksud dengan Thariqat Khos itu, adalah jalan yang ditempuh oleh kalangan yang Dicintai Allah (al-Mahbubin), yang merupakan Abdal para Rasul. Sedangkan Thariqat Umum adalah Thariqat yang ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin), yaitu Abdal para Nabi. Semoga Salam Sejahtera bagi mereka semua.

Thariqat Khas adalah Thariqat yang sangat elit yang sulit dicerna akal biasa, dan jauh sekali yang mampu menguraikan isinya. Bagi anda cukup dengan Thariqat Umum, yaitu jalan penempuhan melalui satu tahap ke tahap lainnya yang lebih luhur hingga sampai pada suatu tahap tertentu, yaitu , “tempat duduk yang benar di sisi Raja Yang Maha Berkuasa”.

Jejak pertama yang harus dtempuh oleh seorang pecinta (al-Muhibb) adalah menaiki suatu tahap ke tahap yang lebih tinggi, yaitu Nafsu. Ia tersibukkan oleh sebab akibat di sana dan bagaimana seseorang mengolah nafsunya (mengendalikannya) sampai tangga kema’rifatan, Manakala ia telah mencapai tahap ma’rifat dan meraih hakikat di sana, ia akan mendapatkan pencerahan cahaya di tahap kedua, iaitu Kalbu. Dalam tahap ini ia berada dalam kesibukan “bersiasat” dalam dunia ma’rifatnya. Manakala tidak ada lagi yang tersisa tahapnya, ia menaiki tangga ketiga, yaitu Ruh. Lalu ia bersibuk diri dengan Siasat Ruh dan kema’rifatannya. Apabila ma’rifatnya sudah sempurna maka sedikit demi sedikit mengalirlah cahaya-caha keyakinan, sampai pandangannya lupa dengan luapan-luapan cahaya itu, sampai keyakinannya benar-benar jelas, sehingga ia tidak lagi mampu berfikir terhadap pencahayaan tiga tahap yang berlalu itu. Maka disanalah ia bebas berhasrat sesuai dengan kehendak Allah . Lalu Allah melimpahkan melalui Nur Akaly yang asli dalam Nur keyakinan. Maka ia menyaksikan adanya yang dimaujudkan tanpa batas dan pangkal, jika disandarkan pada si hamba tersebut. Sehingga lenyaplah seluruh jasad ini didalamnya.

Kadang-kadang seperti tabung yang terlihat di udara melalui cahaya matahari, maka, ketika cahaya matahari itu membakar, tabung itu tidak lagi tampak bekasnya.

Matahari itu adalah akal yang lazim, yang bisa memperlihatkan obyek, setelah terpenuhi oleh materi cahaya keyakinan. Apabila seluruh cahaya itu lenyap, maka seluruh jagad itu sirna pula, dan yang ada hanyalah yang maujud ini. Kadang tampak ada, kadang sirna, sampai ketika ia menghendaki kesempurnaan, ia dipanggil oleh panggilan yang lembut, tanpa suara, yang hanya bisa difahami saja. Hanya saja yang bisa menyaksikan selain Allah, tiada sesuatu yang lain selain Allah. Maka, disitulah ia bangun dan sedar dari “mabuk”nya. Lalu bermunajat, “Oh Tuhan, tolonglah daku….,, tolonglah aku…sungguh aku telah musnah…”

Dari sana ia tahu dengan seyakin-yakinnya, bahawa siapapun tidak boleh selamat dari lautan itu melainkan kerana pertolongan Allah. Disaat seperti itu dikatakan padanya, “Maujud ini adalah Akal, seperti yang disabdakan Rasulullah saw, bahawa yang pertamakali diciptakan oleh Allah adalah akal.” Pada hadits lain dijelaskan, “Allah berfirman pada akal itu, ‘Menghadaplah!’ dan akal itu pun menghadap.”

Hamba ini lantas dianugerahkan rasa hina dan keselamatan melalui Cahaya Maujud itu, sebab batas dan ukurannya tiada terkira, sehingga ia tak mampu mengenalnya. Dikatakan padanya, “Betapa jauhnya, batas itu tidak bisa dikenal kecuali bersama Allah.” Lantas Allah Yang Maha Agung nan Luhur memberikan petunjuk melalui Cahaya Asma’-Nya, muncullah bagai sekelebat kedipan mata, atau seperti yang dikehendaki-Nya (Kami mengangkat darjat orang yang Kami kehendaki), kemudian Allah melimpahkannya melalui Cahaya Ruh Rabbany, lalu ia pun mengenal Maujud ini. Hamba tadi naik ke medan Ruh Rabbany, tiba-tiba sinar seluruh hiasan keindahan yang menyertainya, lalu secara sendirinya ia tersunyikan, tinggalah segala yang ada ini menjadi Maujud. Kemudian Allah menghidupkannya melalui Cahaya Sifat-sifatNya, lalu dengan kehidupan itu Allah menaikkan ke dalam pengenalan Maujud Rabbany itu.

Ketika hamba terurai dari dasar-dasar SifatNya, hampir-hampir ia sebutkan, “Dialah Allah”. Tiba-tiba ia ditemui oleh Pertolongan Azaly, lalu muncul panggilan, “Ingatlah! Bahawa maujud itu adalah yang tiada boleh disifati oleh siapa pun, tidak boleh pula dimengerti melalui ibarat apa pun melalui Sifat-sifatNya melainkan oleh ahlinya, namun melalui cahaya lain yang mengenalnya.” Kemudian Allah melimpahkannya melalui Cahaya Sirr Ruh (rahsia batin Ruh), tiba-tiba ia sudah duduk di pintu medan Sirr.

Hasratnya mengembang untuk mengenal Maujud itu yang tidak lain adalah Sirr itu sendiri. Namun, ia telah buta untuk mengenalnya, lalu seluruh sifat-sifatnya sirnya, seakan-akan tak ada sesuatu pun padanya. Kemudian Allah melimpahkan Cahaya DzatNya, dengan limpahan Kehidupan Keabadian yang tiada hingga. Semua yang diketahui memandang dengan Cahaya Kehidupan ini, lantas seluruh penghuni Maujud ini menjadi Cahaya yang memancar pada segala yang ada, tidak lagi ada yang bisa disaksikan selain Dia. Muncullah panggilan dari jarak yang sangat dekat saat itu: “Janganlah terpedaya dengan Allah, kerana yang Dicintai justru dari tirai (hijab), dari Allah, beserta Allah. Sebab mustahil Allah dihijabi oleh selain Allah.” Lalu ia hidup dengan kehidupan yang dititipkan oleh Allah di dalamnya. Hamba itu lalu berkata, “Aduh, Tuhanku….BesertaMu, DariMu, KepadaMu, betapa tak berdayanya daku. Sesungguhnya aku memohon perlindungan padaMu dariMu, sampai aku tidak melihat lagi selain DiriMu.”

Itulah jalan yang tanjakannya menuju Hadirat Allah Yang Luhur, yaitu jalan ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin) , sebagai para Badal Nabi.

Sedangkan yang dianugerahkan pada salah seorang dari mereka setelah itu, tak satu pun orang yang boleh mengukur atau mendeskripsikannya.

Segala Puji hanya bagi Allah, atas segala nikmat-nikmatNya, dan shalawat serta salam semoga terlimpah padaMuhammad pengunci para NabiNya.

Sedangkan Thariqat kalangan Mahbubin (mereka yang dicintai-Nya) adalah langsung dari Allah, kepada Allah. Sebab mencapai jalan ini mustahil selain dari Allah Sendiri. Pijakan pertamanya, adalah tanpa pijakan itu sendiri, untuk mendapatkan Cahaya DzatNya. Mereka ini disembunyikan dari hamba-hamba-Nya, kerana ia dianugerahi rasa cinta terhadap ketersembunyian. Segala amal-amal yang shaleh sangat kecil di matanya, sementara yang terlihat besar adalah Tuhannya bumi dan langit.

Ketika dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba mereka mendapati dirinya berpakaian baju ilmu. Lalu mereka memandang, tetapi yang tampak, mereka itu bukan mereka. Lantas ia tertimpa suatu kegelapan yang menyembunyikan pandangan mereka, bahkan wahananya menjadi wahana tiada, tanpa sebab-akibat. Seluruh aturan sebab akibat terhempas, dan seluruh yang disebut sebagai yang baru sirna tanpa sesuatu yang baru, bahkan tak ada wujud lagi. Yang jelas justru tiada lagi, kecuali hanya Ketiadaan Murni itu sendiri, tanpa sebab dan akibat. Dan segala yang tanpa sebab langsung, berarti tidak ada obyek yang bisa dikenalnya. Segala yang yang bisa diketahui telah sirna, dan segala rumus telah musnah, sirna yang tidak diketahui kenapa dan bagaimana. Yang ada hanyalah “Substansi” yang ditunjukkan, bahwa Dia tiada bisa disifati dan tiada Sifat itu sendiri, bahkan tiada lagi Dzat. Segala Predikat, Asma’ dan Sifat telah sirna, maka tiada Nama, tiada Sifat dan tiada Dzat. Maka, muncullah “Yang” senantiasa Muncul, tiada sebab-akibat. Tetapi Dia menampakkan Rasia BatinNya, bagi DzatNya di dalam DzatNya, melalui pemunculan yang tiada awalnya. Namun Dia memandang dari DzatNya, bagi DzatNya, dengan DzatNya di dalam DzatNya. Para hamba itu hidup melalui PemumunculanNya dengan kehidupan yang tiada sebab-akibat di dalamnya. Lalu tampillah dengan seluruh Sifat-sifat yang Indah, yang tiada tahu mengapa dan bagaimana.

Jadilah ia yang pertama muncul, tiada kemunculan sebelumnya. Lantas menemukan segala sesuatu bersama Sifat-sifat-Nya, kemudian muncullah cahayaNya di dalam cahayaNya.

Pertama-tama yang muncul adalah SirrNya (rahasia batin), lalu muncullah (melalaui Sirr itu) kalbuNya, lantas muncul AmarNya melalui SirrNya di dalam SirrNya. Lalu muncullah segala dzat melalaui AmarNya di dalam Cahaya al-Qalam melalui Cahaya al-Qalam. Kemudian muncullah AkalNya dengan AmarNya dalam AmarNya, dan muncullah (dengan itu ) ArasyNya di dalam Cahaya LauhNya dengan Cahaya Lauh itu sendiri. Lantas muncullah RuhNya melalui AkalNya, dan melalui RuhNya muncullah KursiNya di dalam Cahaya ArasyNya melalui Cahaya Arasy itu sendiri. Lalu muncul jiwanya melalui kalbuNya, lalu muncullah melalui jiwaNya, orbit bagi kebajikan dan keburukan di dalam Cahaya HijabNya melalui Caha Hijab itu sendiri. Lalu muncul Jisim melalui JiwaNya di dalam JiwaNya, maka muncullulah melalui Jisim itu seluruh Jisim Alam Kasar baik di bumi maupun di langit.

Kesimpulannya, setiap alam kasar berada dalam Cahaya orbit melalui Cahaya orbit. Sehingga pijakan pertamanya bagi hamba tercinta yang sunyi ini adalah membuang jiwanya pada ketiadaan, yaitu pembuangan dalam wahana tiada sebab akibat. Yaitu menghadap pada ketiadaan melalui pengguguran sifat awwaliyah, akhiriyah, dzahiriyah dan bathiniyah.

Sehingga yang terjadi adalah menghadapkan sifat ketiadaan pada ketiadaan itu sendiri. Erti sifat ketiadaan bagi ketiadaan itu adalah segala hal yang berakhir pada pangkal tiada aksioma sebab akibat. Yaitu menyaksikan Allah Ta’ala seperti tiada penyaksian yang berhubungan, tetapi tidak terpisah. Penyaksiaan yang tiada sedikitpun adanya peluang kealpaan, dimana dalil pembuktiannya tidak ada aksioma sebab akibat di dalamnya mahupun baginya, yaitu penyaksian Ketiadaan Murni.

Erti dari tidak adanya pembuktian sebab akibat yaitu kelaziman tiadanya penyaksiaan terhadap makhluk-makhluk yang bisa disaksikan, kemudian secara berurutan, dari ketiadaan murni itu, yaitu Mabuk dalam Lupa yang abadi, bahkan lupa terhadap kehidupan yang ditunjukkan dalam wacana pada posisi ini.

Ternyata, jalan hamba ini adalah Jalan Luhur, atau apa yang disebut dengan terlempar ke dalam Lautan Dzat, lantas ia tiada, lalu dihidupkan dengan kehidupan yang baik, kemudian dipindahkan – tanpa harus pindah – ke Lautan Sifat, kemudian Lautan Amar Rabbany, kemudian Lautan Sirri, lalu Lautan al-Qalam yang masih asli , lantas Lautan Ruh, kemudian Lautan Kalbu, lalu Lautan Nafsu, lantas Lautan Kebajikan , kemudian ia ditemukan dengan Lautan Sirri, lalu dilempar ke Lautan Qolamiyah, lalu Lautan Lauhiyah, kemudian Lautan Arsyiyah, lantas Lautan Kursy, kemudian Lautan Hijabiyah, kemudian Lautan Falakiyah. Ia dipertemukan dengan Lautan Sirri yang meliputi, kemudian dilempar ke Lautan Malakiyah, lalu ke Lautan Abalisah (keiblisan), kemudian Lautan Jinsiyah, baru ke Lautan Unsiyah.

Disana ia bertemu dengan Lautan Sirri, lalu dilemparkan ke Lautan Syurgawi, lalu Lautan Nirani (kenerakaan), kemudian dilempar ke Lautan Ihathah (keseluruhan yang meliputi) yaitu Lautan Sirri, lalu tenggelamlah di sana dalam ketenggelaman yang tidak keluar lagi selama-lamanya kecuali atas Izin-Nya. Bila Allah menghendaki ia diutus sebagai ganti dari Rasul yang menghidupkan para hambaNya. Jika Dia berkehendak lain, Dia menutupinya. Dia bertindak sesuai dengan kehendakNya.

Setiap Lautan dari Lautan-lautan itu, meliputi berbagai Lautan di sana, dimana jika orang yang Shaleh pengganti Rasul masuk di dalam Lautan paling kecil saja dari Lautan-lautan itu, pasti ia tenggelam di dalamnya dan tidak akan selamat lagi (mentas).

Semua itu merupakan gambaran Thariqat Umum dan Khusus. Hanya Allah Sendiri yang Terpuji.

Proyeksi yang dijadikan ilustrasi di atas sekaligus menggambarkan bagaimana tahapan spiritual, namun sekaligus juga maqam dan haal ruhani para Sufi. Lebih dari itu menggambarkan peta dunia metafisis dan struktur Wujud itu sendiri dalam perspektif teosofis.